Indef: Pembangunan Infrastruktur Kurang Efisien


Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri memperingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tak luput mencermati posisi Indonesia sebagai negara investasi. Indonesia saat ini memang tengah banyak mendapat guyuran dana asing untuk kelanjutan pembangunan infrastruktur.

Faisal menyoroti nominal investasi yang masuk terhitung tidak kecil, namun itu tak diiringi oleh penggunaannya yang kurang efektif.

"Jokowi pernah bilang kita akan bikin Kementerian Investasi. Tapi percayalah, investasi di kita 32,3 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Semua negara Asia selain China 30 persen dibawah PDB," tegur dia dalam sebuah sesi dialog publik di Le Meridien Hotel, Jakarta, Selasa (23/7/2019).

"Saya agak takut Jokowi salah diagnosis. Investasi tidak kecil, tapi kok hasilnya kecil. Berarti kita membangunnya tidak efisien," dia menambahkan.

Inefisiensi tersebut, sambungnya, tercermin dari peningkatan utang Pemerintah RI. "Utang kita per Maret 2019 sudah mencapai Rp 4,6 kuadriliun, atau Rp 4.600 triliun," sebut dia.

Menurutnya, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini sudah tak mampu lagi menanggulangi sepenuhnya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebab, lanjutnya, sebagian besar APBN digunakan untuk bayar bunga utang hingga belanja barang.

"Jadi dananya dari BUMN. Utang BUMN non-finansial sampai Maret 2019 sudah mencapai Rp 945 triliun. Utang BUMN finansial lebih besar lagi, sekitar Rp 3,2 quadriliun," paparnya.

"Untuk pembangunan infrastruktur, mau tidak mau, suka tidak suka, harus gunakan metode partisipasi lebih banyak dari swasta, baik asing maupun luar negeri. Kalau tidak collapse kita," dia menandaskan.

RI Butuh Rp 2.058 Triliun untuk Infrastruktur hingga 2024

APBN untuk Infrastruktur 2019 Naik 1,04 Persen

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mendorong pendanaan dari investasi sektor swasta dalam pembangunan, infrastruktur khususnya jalan tol. Salah satunya, yakni melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

"Melalui skema KPBU, pemerintah bertujuan mengatasi ketimpangan pendanaan (financial gap) infrastruktur, terutama jalan tol demi ketepatan waktu penyelesaiannya. Sehingga dapat memberikan manfaat nyata bagi negara dan masyarakat," jelas Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Senin (22/7/2019). 

Menteri Basuki menganggap, investasi swasta dibutuhkan lantaran pendanaan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur terbatas. Kemampuan APBN untuk 2020–2024 diproyeksikan hanya mampu memenuhi 30 persen, atau sekitar Rp 623 triliun dari total kebutuhan anggaran untuk penyediaan infrastruktur sebesar Rp 2.058 triliun.

Untuk 2019 ini, Kementerian PUPR melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) akan melelang tujuh ruas jalan tol dengan nilai investasi sebesar Rp 151,13 triliun.

"Keterlibatan swasta membawa dampak daya ungkit (leverage) dari hasil investasinya, sehingga keuntungan dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya," ujar Kepala BPJT Danang Parikesit.


Share:

Recent Posts