TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat penerbangan Chappy Hakim menganggap lambatnya pembangunan infrastruktur yang menopang industri penerbangan menjadi penyebab kenaikan harga kargo maupun bagasi. Menurut dia, sebanyak 60-70 persen infrastruktur penerbangan saat ini tak cocok dengan jenis pesawat yang banyak dipakai maskapai.
Chappy mengatakan sejauh ini infrastruktur yang ada lebih banyak mendukung untuk model pesawat sekelas Twin Otter dan CAS CN-235. Sebaliknya, jenis pesawat yang saat ini banyak didatangkan justru berjenis Boeing 737 dan Airbus 320.
"Akibatnya, saat ini mulai dari tengah-tengah, sudah terlanjur datang Boeing 737, lalu pontang panting membesarkan infrastruktur yang tadinya belum bisa buat pesawat jenis itu," kata Chappy saat menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk Mengapa Bagasi Berbayar di Gado-Gado Boplo Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 9 Februari 2019.
Industri penerbangan menjadi sorotan sejak awal 2019. Mulanya, industri aviasi banyak disorot karena harga tiket yang mahal meski telah melewati peak season setelah libur natal dan tahun baru 2019.
Setelah itu, pengguna jasa penerbangan juga dikejutkan dengan sejumlah kebijakan maskapai untuk menaikkan harga bagasi pesawat. Khususnya untuk penerbangan dengan pesawat low cost carrier atau LCC.
Belakangan, industri logistik yang menjadi sasaran dengan adanya kebijakan maskapai untuk menaikkan harga kargo atau jasa pengiriman barang lewat udara. Akibat ini, salah satu asosiasi di bidang logistik mengancam akan melakukan pemboikotan jika kebijakan ini terus berlanjut.
Chappy menilai pembangunan infrastruktur yang mendukung perhubungan udara saat ini telah tertinggal. Selain infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung industri penerbangan masih tertinggal. Dalam konteks gap ini, persoalan kargo dan bagasi bisa terjadi.
Chappy juga menuturkan, lambatnya pembangunan infrastruktur dan SDM ini disebabkan tak adanya sistem perhubungan udara yang baik. Sejauh ini, tak ada pula strategi jangka panjang mengenai arah perhubungan udara di Indonesia.
"Jadi kemajuan yang kita nikmati sementara adalah hanya pertumbuhan penumpang per tahun, mengejar slot penerbangan. Tanpa ada rencana strategis perhubungan udara mau seperti apa," kata Chappy.
Ekonom Institute for Developtment Econimics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan pembangunan infrastruktur yang tak baik juga terjadi dalam masalah distribusi avtur. Menurut dia, infrastruktur distribusi avtur saat ini hanya fokus berada di Pulau Jawa saja.
"Kenapa menjadi mahal, karena infrastruktur penyaluran avtur khususnya di luar Pulau Jawa ini yang terlambat untuk dibangun, sehingga terjadi diferensiasi harga avtur yang terlalu lebar," kata Bhima dalam acara yang sama.
Padahal, komponen avtur menyumbang 30-40 persen dari harga tiket penerbangan saat ini. Belum lagi jika nilai tukar rupiah yang bergejolak menyebabkan harganya menjadi lebih mahal karena harus dibeli dengan dolar Amerika Serikat. Akibat model infrastruktur distribusi avtur yang tak baik, harga tiket menjadi lebih mahal karena tak bisa diprediksi mengikuti kondisi nilai tukar.