Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Tak terkecuali melalui pasar saham yakni PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi membenarkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengajak BEI untuk ikut serta dalam pembangunan infrastruktur RI.
Hasan menuturkan, sumbangsih BEI dilakukan dengan proses sekuritisasi lewat emiten atau perusahaan tercatat di pasar modal.
Sekuritisasi adalah pengonversian sekelompok piutang dan jenis yang sama (biasanya kredit) menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan, meliputi piutang pokok dan bunga. Misalnya, potensi pendapatan di masa mendatang dicatatkan dan ditawarkan kepada investor.
"Bappenas mengajak lebih ke area sekuritisasi terhadap proyek-proyek berbasis infrastruktur. Jadi Bappenas menawarkan swasta pola kerja sama antara swasta dan pemerintah yakni dengan skema Public Private Partnership (PPP)," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (28/6/2019).
Menurut Hasan, BEI dalam hal ini dapat mendorong penerbitan Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) sebagai alternatif pembiayaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Adapun Dinfra merupakan reksa dana yang digunakan untuk menghimpun dana investor dan nantinya diinvestasikan pada aset infrastruktur.
"Jadi dari situ kemudian kita bersama emiten berminat sekuritisasi underlying project, asetnya ditawarkan di bursa misalnya lewat Dinfra. Itu sebetulnya ada skema sekuritisasi proyek-proyek yang secara umum untuk program infrastruktur," paparnya.
"Karena kebutuhan dana infrastruktur sendiri besar. Kita memungkinkan penerbitan instrumen seperti Dinfra. Atau kalau di real estate itu ada Dire (Dana Investasi Real Estate)," tambah dia.
Untuk diketahui saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan mengenai Dinfra yang tertuang dalam peraturan OJK Nomor 52/POJK.04/2017 yang terbit pada 20 Juli 2017.
Dinfra sendiri dinilai lebih menarik disebabkan fleksibilitas yang tinggi dalam hal pilihan underlying asset.
Selain itu, Dinfra juga dapat dapat ditawarkan melalui penawaran umum dengan syarat aset infrastruktur telah menghasilkan pendapatan atau akan menghasilkan pendapatan paling lambat enam bulan sejak aset dialihkan ke DINFRA.
Kemampuan Fiskal Terbatas, Pembangunan Infrastruktur RI Tersendat
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengungkapkan, beberapa kendala yang menyebabkan pembangunan infrastruktur di Indonesia tersendat.
Salah satu faktornya adalah kemampuan fiskal pemerintah yang dinilai masih terbatas.
"Kendala percepatannya kemampuan fiskal kita terbatas, di sisi lain fokus belanja banyak.
Masalah belanja pegawai, subsidi dan alokasi kita ke pemerintah daerah (jadi terbagi)," kata dia dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.
Askolani mengatakan, pemerintah sudah mengarahkan pembangunan infrastruktur agar lebih masif.
Hanya saja, dia mengakui hasilnya belum secepat yang diharapkan. Seperti diketahui salah satu program prioritas Pemerintah Jokowi-JK yakni pembangunan infrastruktur.
Sebab infrastruktur memiliki peran strategis sebagai prasyarat, menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk itu, arah kebijakan pemerintah pada 2020 yakni tetap konsisten terhadap pembangunan infrastruktur secara merata. Pemerintah dalam hal ini akan menambah belanja modal pada 2020.
"Tentu itu menjadi salah satu cikal bakal belanja infrastruktur yang lebih baik itu juga konsisten kalau kita lihat melalui DAK fisik yang juga diarahkan untuk infrastruktur melalui pemda-pemda," pungkasnya.
INDEF: Infrastruktur Jadi Modal Dasar RI Keluar dari Jabatan Kelas Menengah
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, pembenahan daya saing menjadi kunci utama agar Indonesia bisa terlepas dari jebakan negara berpendapatan kelas menengah atau middle income trap.
Untuk bisa memperbaiki daya saing, ia menekankan, pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara masif.
"Perbaikan signifikan dalam komponen infrastruktur jadi kunci utama perbaikan daya saing karena berkaitan dengan konektivitas dan penurunan biaya logistik," imbuhnya kepada Liputan6.com, Minggu, 16 Juni 2019.
Dia menyatakan, perbaikan infrastruktur dalam hal ini memang memainkan peran penting, sebab Indonesia sebelumnya harus menghadapi mahalnya biaya logistik sebesar 24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Pembangunan infrastruktur, khususnya penunjang logistik darat dan laut yang turunkan logistic cost, bisa membuat harga produk lebih kompetitif, khususnya yang berorientasi ekspor. Jadi pembangunan infrastruktur yang mendorong turunnya biaya logistik harus dilanjutkan," dia menambahkan.
Selain biaya logistik, ia melanjutkan, pembangunan infrastruktur juga berkaitan dengan efisiensi investasi. Bhima mencatat, rasio antara investasi dengan pertumbuhan output atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia saat ini masih berada diatas 6 persen, di mana idealnya ada di bawah 3 persen.
"ICOR yang tinggi menunjukkan biaya untuk investasi cukup mahal di Indonesia alias kurang efisien. Jadi semakin baik infrastrukturnya, semakin rendah ICOR-nya," jelas dia.
Bhima pun turut menyoroti cita-cita Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu, yang sempat memaparkan rencana pemerintah untuk mendorong Indonesia keluar dari middle income trap.
Bila benar-benar ingin menjadi negara berpendapatan tinggi, maka Indonesia harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara rata-rata di atas 7-8 persen setiap tahunnya.
"Terkait target yang reachable, upaya-upaya yang disampaikan Sri Mulyani juga harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7-8 persen," pungkas dia.